Karawang || Cakrawalanews.net
Sikap Ketua Panitia 11 Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) Tanjungmekar, Kecamatan Pakisjaya, Kabupaten Karawang, menuai kecaman keras dari berbagai elemen masyarakat. Di tengah sorotan publik terhadap dugaan kejanggalan Daftar Pemilih Tetap (DPT), Ketua Panitia justru dinilai gagal menjalankan peran sebagai penyelenggara yang netral, profesional, dan menjunjung etika demokrasi.
Alih-alih membuka data DPT secara transparan, Ketua Panitia 11 malah melontarkan pernyataan bernada merendahkan dengan menyebut Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai “anjoran” dan bukan warga Tanjungmekar. Pernyataan tersebut dilontarkan hanya beberapa hari menjelang pelaksanaan Pilkades yang dijadwalkan pada 28 Desember 2025.
“Kalau dibilang ada 200 DPT orang luar itu tidak benar. Yang delapan orang kami akui. Tapi LSM itu bukan orang Tanjungmekar, itu anjoran,” ujar Ketua Panitia 11 kepada awak media di Kantor Desa Tanjungmekar, Kamis (25/12/2025).
Pernyataan tersebut dinilai publik bukan sekadar keliru, tetapi mencerminkan cara berpikir penyelenggara yang anti-kritik, emosional, dan tidak memahami fungsi kontrol sosial. Serangan terhadap identitas pengkritik dianggap sebagai bentuk pengalihan isu dari persoalan utama, yakni validitas dan akurasi DPT.
LSM yang dimaksud diketahui merupakan bagian dari aliansi LSM dan elemen masyarakat sipil di Kecamatan Pakisjaya, Kabupaten Karawang, yang secara sah dan terbuka menjalankan fungsi pengawasan kebijakan publik, termasuk tahapan Pilkades. Hak tersebut dijamin dalam prinsip demokrasi dan tidak bergantung pada status domisili.
“Ketua Panitia seolah tidak paham bahwa Pilkades bukan milik panitia. Pengawasan itu hak publik. Menyerang LSM sama saja menunjukkan ketidakmampuan menjawab data,” tegas seorang warga Tanjungmekar, Jum'at (26/12/2025).
Sikap Ketua Panitia 11 dinilai semakin memperburuk situasi karena terjadi di fase krusial menjelang hari pencoblosan. Bukannya meredam ketegangan dan membangun kepercayaan publik, pernyataan tersebut justru memicu kegaduhan dan memperdalam kecurigaan masyarakat terhadap integritas penyelenggara Pilkades.
“Kalau panitia saja sudah emosional dan merendahkan kontrol sosial, bagaimana masyarakat bisa percaya hasil Pilkades nanti?” ujar warga lainnya.
Sejumlah pihak menilai, penggunaan diksi “anjoran” bukan sekadar persoalan etika bahasa, melainkan mencerminkan mentalitas tertutup dan berbahaya bagi demokrasi desa. Penyelenggara yang alergi terhadap kritik dinilai berpotensi menutup ruang koreksi dan membuka peluang pelanggaran yang lebih besar.
“Ini alarm keras. Pernyataan Ketua Panitia justru mengonfirmasi ketakutan publik bahwa ada sesuatu yang tidak ingin dibuka secara transparan,” katanya.
Atas polemik tersebut, masyarakat mendesak pihak Kecamatan Pakisjaya, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), hingga unsur pengawas Pilkades tingkat kabupaten untuk segera turun tangan. Evaluasi serius terhadap sikap, pernyataan, dan kinerja Ketua Panitia 11 dinilai mendesak agar Pilkades Tanjungmekar pada 28 Desember 2025 tidak tercoreng oleh konflik, arogansi penyelenggara, dan hilangnya kepercayaan publik.
Publik menegaskan, Pilkades bukan sekadar agenda administratif, melainkan proses demokrasi yang menuntut kejujuran, keterbukaan, dan penghormatan terhadap kontrol sosial. Ketika penyelenggara justru merendahkan pengawas, maka yang dipertaruhkan bukan hanya DPT, tetapi legitimasi hasil Pilkades itu sendiri.(Gun )

0 Komentar