Oleh :
– KH. Dr. Muhammad Sontang Sihotang S.Si, M.Si*.(Alumnus S-1 : Fisika USU ’88,S-2 Alumnus: Materials Science-University of Indonesia (UI) Salemba, Central Jakarta Alumnus S-3 ; Universiti Zainal Abidin (UniSZA) Kuala Terengganu, Malaysia, Bidang Kajian : Metafisika Tasawuf, Kepala Laboratorium Fisika Nuklir, Prodi Fisika, Fakultas Matematika & Ilmu Pengetahuan Alam, Peneliti Pusat Unggulan Ipteks Karbon & Kemenyan-Universitas Sumatera Utara (USU)-Medan, Dosen Prodi Ilmu Filsafat Universitas Pembangunan Panca Budi (UNPAB)-Medan, Mantan Dosen Sains Fizik / Quantum Physics, Fisika Kelautan, Food & Technology Physics, Fakulti Sains dan Teknologi (FST), Universiti Malaysia Terengganu (UMT), Malaysia, Tahun 2007-2013, Mantan Dosen Fisika Kedokteran & Keperawatan, Fakultas Kedokteran & Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK-UI), d/h Salemba, Jakarta Pusat, Tahun 1996 s.d 2000. Fellowship & Training in Medical Physics & Computing @ Brussels University - Belgium (VLIR Scholarship) & Salzburg-Austria (Institute of Medical Science) -Tahun 2000, Bagian Fisika Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas YARSI, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Tahun 2000-2004, Manager Engineering Data & Information Centre (EDIC) Engineering Centre, Fakultas Teknik – Universitas Indonesia- Depok (2005-2006), Wartawan Dayak News.
[6/6, 12.10] M Sontang Sihotang (PERS): Abstrak
Hari Raya Idul Adha merupakan salah satu perayaan terbesar dalam Islam yang memiliki kedalaman makna spiritual dan metafisik yang sangat signifikan. Peristiwa qurban yang merujuk pada kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail tidak hanya menjadi simbol ketaatan, tetapi juga merepresentasikan penyerahan eksistensial manusia kepada kehendak ilahi. Makalah ini bertujuan untuk menganalisis dimensi metafisika dari peristiwa qurban melalui pendekatan filosofis dan teologis. Dengan menggunakan pendekatan kajian pustaka dan interpretasi hermeneutik terhadap teks-teks keagamaan, ditemukan bahwa qurban merupakan manifestasi dari pengorbanan ego, keterlepasan dari keterikatan duniawi, dan proses sublimasi spiritual menuju realitas transenden. Idul Adha, dalam kerangka metafisika, tidak sekadar ritual fisik, tetapi refleksi terdalam atas relasi manusia dan Tuhan sebagai inti dari eksistensi yang sejati.
Kata Kunci
Metafisika, Idul Adha, Qurban, Nabi Ibrahim, Eksistensi, Spiritualitas, Penyerahan Diri, Transendensi
[6/6, 12.10] M Sontang Sihotang (PERS): 1. Pendahuluan
Idul Adha merupakan momen puncak ibadah haji dan simbolisasi pengorbanan spiritual umat Islam. Latar belakangnya bersumber dari kisah Nabi Ibrahim AS yang diperintahkan untuk menyembelih putranya, Ismail AS, sebagai bentuk ujian keimanan dari Allah SWT. Secara eksoterik, peristiwa ini mengandung unsur ketaatan dan kepatuhan. Namun secara esoterik dan metafisik, terdapat dimensi yang lebih mendalam: yaitu relasi antara manusia dan yang transenden (Allooooh), serta makna eksistensial dari pengorbanan itu sendiri.
2. Landasan Teori
2.1 Metafisika dalam Kajian Filsafat
Metafisika adalah cabang filsafat yang membahas hakikat realitas di balik dunia material, mencakup kajian tentang keberadaan, substansi, ruang-waktu, dan hubungan antara yang kasat mata dan yang transenden (Heidegger, 1962; Nasr, 1989). Dalam konteks keagamaan, metafisika merujuk pada pencarian makna terdalam tentang relasi manusia dengan Alloooh dan realitas tertinggi.
2.2 Teologi Islam dan Konsep Qurban
Dalam Islam, qurban bukan sekadar penyembelihan hewan, melainkan simbol dari penyembelihan ego, hawa nafsu, dan kemelekatan duniawi. Al-Qur’an surah As-Saffat ayat 102–107 menarasikan peristiwa antara Nabi Ibrahim dan Ismail sebagai bentuk kepasrahan total atas perintah ilahi. Di sinilah letak kekuatan metafisiknya: kehendak ilahi mendefinisikan esensi eksistensi manusia.
3. Analisis Metafisika Peristiwa Qurban
3.1 Konsep Ketundukan sebagai Jalan Menuju Keberadaan Sejati
Ketika Ibrahim bersedia menyembelih anaknya, ia memasuki tataran eksistensi tertinggi: kehendaknya bukan lagi kehendak personal, tetapi manifestasi dari kehendak Alloooh. Di sinilah kita menyaksikan perwujudan konsep "fana fi Allah", yaitu peleburan diri dalam kehendak ilahi sebagaimana diajarkan dalam tasawuf.
3.2 Ismail sebagai Simbol Manifestasi Diri dan Cinta Dunia
Dalam perspektif metafisik, Ismail melambangkan hal-hal yang paling dicintai oleh manusia—anak, harapan, masa depan. Kesediaan Ibrahim untuk “mengorbankan” Ismail menunjukkan bahwa perjalanan menuju Alloooh memerlukan pemutusan eksistensial terhadap segala keterikatan duniawi. Ia mencerminkan konsep “tabattul” atau pemutusan total sebagaimana disebut dalam QS Al-Muzzammil: 8.
3.3 Pengganti Qurban dan Realitas Ilahi
Diturunkannya domba sebagai pengganti Ismail bukanlah sekadar bentuk belas kasih Alloooh, melainkan simbol bahwa Allah tidak menghendaki darah dan daging (QS Al-Hajj: 37), melainkan taqwa, ketundukan batin yang tulus. Secara metafisik, ini menunjukkan bahwa yang sejati bukanlah fisik (ontologis), tetapi niat dan makna di balik tindakan (teleologis).
4. Idul Adha sebagai Refleksi Spiritualitas Transendental
Idul Adha menegaskan kembali pentingnya transformasi batiniah dalam kehidupan umat manusia. Qurban yang dilaksanakan setiap tahun seharusnya menjadi ritus simbolik untuk memperbarui komitmen spiritual terhadap nilai-nilai tauhid, keikhlasan, dan keterlepasan dari ego. Dalam konteks ini, Idul Adha adalah perjalanan metafisis, bukan sekadar momentum ritualis.
5. Implikasi Filosofis dan Eksistensial
Peristiwa qurban memberikan kita pemahaman bahwa manusia sebagai makhluk eksistensial senantiasa berhadapan dengan pilihan-pilihan moral yang menguji komitmen spiritualnya. Dalam konteks ini, kisah Ibrahim-Ismail menegaskan bahwa eksistensi manusia hanya menemukan makna sejatinya saat ia mampu melampaui diri dan menyatu dengan kehendak ilahi. Ini sejalan dengan konsep being-for-God dalam metafisika eksistensial Islam.
6. Kesimpulan
Peristiwa qurban dalam kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail bukan sekadar pengorbanan dalam arti literal, melainkan perwujudan tertinggi dari realitas metafisika: penyerahan diri, pembebasan dari ego, dan penyatuan dengan kehendak Alloooh. Idul Adha, jika dimaknai secara mendalam, menjadi medium kontemplasi spiritual untuk mengasah kesadaran transendental umat manusia dan menjadi sarana perjalanan menuju dimensi eksistensi yang lebih tinggi.(ms2)
0 Komentar